Sabtu, 24 Desember 2011

BUDAYA JAWA DAN EKSISTENSINYA



            Bab I           
Pendahuluan
A.      Latar Belakang
Budaya Jawa sesungguhnya merupakan sebuah kajian tentang peradaban sejarah manusia yang cukup rumit dan penuh misteri. Karena sepanjang sejarah manusia Jawa begitu luas dan komplek tetang tatanan sistem kebudayaannya yang disebabkan Perjalanan masyarakat Jawa begitu panjang dengan berbagai sistem budaya yang turut melingkupinya. Dengan demikian bila berbicara tentang budaya Jawa tidak dapat di lepaskan dari peradaban yang lebih luas, yakni
budaya Indonesia yang terbentuk dengan menganut sistem budaya terbuka.
Sistem berpikir Jawa menurut Dawami yaitu, suka berpikir tentang mitos dan hal-hal yang berbau mistis. Segala perilaku orang Jawa, seringkali memang sulit lepas dari aspek kepercayaan pada pokok permasalahan tertentu. Itulah sebab tertentu sistem berpikir mistis akan selalu mendominasi perilaku hidup orang Jawa. Orang Jawa lebih percaya kepada cerita-cerita dan dongeng-dongeng yang bersifat sakral, dari pada berpikir eksperimental. Dan sistem berpikir yang semacam itu dilestarikan secara turun-menurun di kalangan masyarakat Jawa sampai menjadi foklor Jawa.
Dalam makalah ini, kami ingin memaparkan segala bentuk dan macam-macam budaya Jawa yang masih bereksistensi dalam perkembangan zaman. Bahkan tidak dapat di sangkal bahwa budaya Jawa telah banyak berakulturasi dengan kebudayaan-kebudayaan  asing yang datang di abad-abad pertengahan baik Hindu, Buddha, Islam dan bahkan kolonialisme bangsa barat. Sehingga banyak segala unsur-unsur Budaya Jawa yang hampir mirip dengan budaya-budaya asing yang telah berakulturasi tersebut.
B.      Rumusan Masalah
1.      Apa yang di maksud dengan budaya Jawa dan masyarakat Jawa?
2.      Apa macam-macam tradisi Jawa dan Bagaimana eksistensinya di zaman modern ini?

Bab II
Pembahasan
1.      Budaya Jawa
Masayarakat Jawa dapat di golongkan menjadi dua kriteria, yaitu masayarakat Jawa berdasarkan etnis dan masayarakat berdasarkan letak geografis. Namun pembahasan tentang budaya Jawa ini lebih bersifat keseluruhan, karena di manapun orang Jawa berada maka mereka akan sulit lepas dari berpikir Jawa.[1]
Asal usul masyarakat Jawa sendiri berdasarkan keilmuan sejarah sarjana barat akan sulit sekali ditemukan dengan secara pasti dan kredibel. Namun jejak perjalanan masyarakat Jawa akan banyak di temui dengan cerita-cerita yang secara turun temurun yang di bungkus dengan mistis dan kesakralan tertentu. Hal inilah yang menjadi ciri khas masyarakat Jawa, walaupun bagi keilmuan barat hal tersebut di bantah, namun keunikan tersebut adalah sebuah kebenaran bagi masyarakat Jawa dan di  pertahankan sampai zaman modern ini.
Bila berbicara tentang budaya Jawa maka harus diketahui terlebih dahulu dengan yang dimaksud dengan budaya. Budaya adalah semua tindakan manusia dalam mengatasi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan.[2] Koentjoroningrat menyatakan bahwa unsur-unsur universal sebuah kebudayaan meliputi tujuh sistem, yaitu sistem religi atau keagamaan, sistem dan organisasi masyarakat, sistem bahasa, sistem pengetahuan, sistem kesenian, sistem mata pencaharian, sitem teknologi dan peralatan. Semua sistem kebudayaan tersebut terdapat dalam masyarakat dari tingkatan primitif hingga masayarakat dalam tingkatan modern, dan sistem budaya tersebut mengalami dinamika sebagai akibat pergaualan antar masyarakat pendukungnya dengan kebudayaan lain. [3]
Masyarakat Jawa memiliki karakteristik budaya yang khas sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Pada garis besarnya, budaya Jawa dapat dibagi menjadi dua, yaitu budaya lahir dan budaya batin.[4] Budaya lahir adalah segala hal yang terkait dengan kedudukan masyarakat Jawa sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Dalam hal ini budaya Jawa memiliki kaidah-kaidah yang dapat dengan mudah diindetifikasi berdasarkan ungkapan-ungkapan budaya sebagai manifestasi nilai-nilai budaya yang didukung oleh masyrakatnya. Sedangkan budaya batin adalah segala sesuatu yang terkait dengan persoalan-persoalan yang bersiafat supranatural dan kekuatan-kekuatan adikodrati yang tidak dapat di empriskan dan objektifkan. 
Dalam sistem budaya Jawa, terdapat tuntutan yang mengharuskan masyarakat Jawa untuk menjaga harmonitas dalam kehidupan mereka. Karena dengan hidup harmoni masyarakat Jawa akan dapat melakukan segala hal yang membuat mereka bahagia dalam kehidupan mereka.[5] Dengan demikian masayarakat Jawa cenderung meminilmalisir segala bentuk kepentingan-kepentingan yang bersifat individu dan lebih mementingkan sistem budaya yang bersifat komunal atau kebersamaan demi terciptanya harmonitas sosial. Hal ini seperti peribahasa orang Jawa rame ing gawe sepi ing pamrih, mangan ora mangan sing penting kumpul, dan lain sebagainya. 
Selain masyarakat Jawa menjaga eksistensi diri dalam kehidupan sosialnya, masyarakat Jawa juga memiliki orientasi utama dalam membangun seorang insan yang berbudi luhur. Untuk mencapai derajat yang berbudi luhur maka di butuhkan berbagai macam bentuk pengendalian diri, seperti pentingnya seseorang menghindari tindakan srei, drengki, panas aten, wedi isin, serta pentignya memiliki sikap mental (attitude) eling lan waspada dengan di landasi kesabaran. Semua hal itu perlu dilakukan bagi masyarakat Jawa untuk mencapai kasumpurnaning urip (kesempurnaan hidup) sebagai manifestasi insan budi luhur yang di idam-idamkan masyarakat Jawa.[6] Maka dari itu masyarakat Jawa dituntut sikap dahwen (suka mencela orang lain), open (pamrih pribadi) dan jail (suka membuat susah orang lain) yang semua itu harus dilandasi sikap ngono yo ngono ning ojo ngono (begitu ya begitu tapi ya jangan begitu).
  Dalam hubungan sikap hidup masyarakat Jawa dengan statusnya sebagai manusia ciptaan Tuhan. Manusia Jawa memiliki sikap mental yang menyatakan kuatnya hubungan antara dirinya dengan Tuhan sebagai sang khalik. Dalam pandangan Jawa, Tuhan atau di sebut Gusti Allah atau pangeran[7] diidentifikasikan sebagai sang penentu, pemberi pertolongan dan tempat berserah diri. Selain itu orang Jawa yang memiliki hidup falsafatik, yang mengakui bahwa kehidupannya di dunia ini pada hakikatnya adalah sebuah jeda waktu untuk kembali lagi kepada Tuhan. Sesuai dengan keyakinan tersebut maka masyarakat Jawa memiliki keyakinan bahwa kehidupan ini dinamis (cakra manggilingan atau owah gingsir) sesuai dengan kehendak Tuhan sebagai sang penentu. Sikap yang bersifat falsafatik tersebut tampak sekali pada kuatnya kesadaran masyarakat Jawa dalam keyakinan bahwa hidup hanya sekedar menjalani kehendak Tuhan seperti yang dinyatakan oleh orang Jawa, urip mung sadremo nglakoni (hidup itu hanya sekedar menjalani) dan gumantung karsane pangeran (tergantung kehendaknya Tuhan), hal ini menunjukan bahwa nasib manusia Jawa dalam kehidupan ini sudah ditentukan oleh Tuhan sejak ia lahir hingga matinya.[8]
Sedangkan dalam prinsip etika, masyarakat Jawa menitik beratkan kepada pentingnya menghindari konflik dan menciptakan kerukunan dalam kehidupannya. Kedua sikap tersebut harus dilakukan dengan dilandasi sikap hormat yang diabdikan pada terciptanya hubungan sosial yang harmoni. Dengan demikian, maka kerukunan selalu di usahakan dalam setiap situasi guna menciptakan kehidupan yang selaras, tenang dan tentram. Kondisi tersebut menjadi tanggung Jawab moral bagi komunitas sebuah masyarakat Jawa.[9]
Kehidupan rukun masyarakat Jawa dapat dikatakan sebagai ajaran pokok dalam budaya Jawa. Untuk memiliki jiwa rukun, maka seorang masyarakat Jawa harus memiliki semangat  hidup yang dilandasi tepa slira dan ojo dumeh. Tepa slira adalah sikap hidup yang mengukur perlakuan dirinya terhadap orang lain, diukur dengan perlakuan pada dirinya sendiri. Sikap tepa slira ini sendiri ditopang dengan sikap ojo dumeh atau jangan sombong, karena kehidupan ini menurut masayakat Jawa selalu berputar (owah gingsir) sesuai dengan roda kehidupan yang telah ditentukan Tuhan (cakra manggilingan).[10]

2.      Macam-Macam Tradisi Jawa
a.      Bahasa Jawa
Ada pepatah ajining diri saka lathi, berarti harga diri seseorang diantaranya tergantung dengan segala ucapan dan bahasa yang keluar dari mulutnya. Kata-kata yang fasih, manis dan empan papan (sesuai dengan kondisi dan situasi) akan menyenangkan hati, sedangkan perkataan yang kasar, jorok, rusak akan menyakitkan hati. Di yakini bahwa Sumber malapetaka bagi orang Jawa dan kebanyakan manusia di dunia ini adalah berasal dari lidah (perkataan)yang tidak terkendali.
Bahasa Jawa mengenal stratifikasi sosial yang rumit yang terkait dengan unggah-ungguh (tata krama). Bahasa yang digunakan dalam karya-karya sastra zaman kerajaan mataram pada akhir abad ke-19 dan dipergunakan sebagai bahasa pergaulan abad ke 20 ini, di tandai oleh suatu sistem tingkat-tingkat yang sangat rumit, terdiri dari paling sedikit sembilan gaya bahasa. Sistem ini menyangkut perbedaan-perbedaan yang wajib digunakan, mengingat perbedaan pangkat, umur serta tingkat keakraban diantara yang menyapa dan yang disapa. Dalam konsepsi orang Jawa, berbagai gaya ini menyebabkan adanya tingkat-tingkat bahasa yang berbeda-beda tinggi-rendahnya.[11]
Sedangkan dalam terbentuknya huruf Jawa, sangat kental sekali dengan cerita mitos dan legenda tentang Ajisaka, yang bermula sebagai sebuah cerita untuk menerangkan arti dari kalimat susunan abjad Jawa yang terdiri dari dua puluh huruf, yakni “hanacaraka datasawala padhajayanya magabathanga” sebuah pemaknaan terhadap abjad Jawa sekaligus dapat memberikan informasi tentang kesaktian mistik pada orang-orang Jawa pada awalnya dan sekaligus pertengkarannya dengan Dewata Cengkar.[12] Pertengkaran dan mistik Jawa yang mendasari cerita huruf Jawa tersebut merupakan problematika konteks kehidupan harmoni masyarakat Jawa dianggap semu dan penuh kepura-puraan.
b.      Orang Keramat, Roh Dan Slametan
Diantara kepercayaan dalam kehidupan agama orang Jawa adalah tokoh-tokoh agama yang di keramatkan.[13] Hal ini tidak lepas dari budaya kepercayaan asli masyarakat Jawa kuno yang menganut agama animisme dan dinamisme, yang mengkeramatkan suatu tokoh yang dianggap mampu menghubungkan diri mereka dengan Tuhan (Gusti Allah atau Pangeran) baik tokoh tersebut masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia.[14]
Sebagai bagian dari pemahaman terhadap orang keramat yang sudah meninggal, masyarakat Jawa meyakini bahwa ada roh halus yang berkeliaran disekitar tempat tinggalnya semula atau arwah leluhur. Roh nenek moyang dianggap masih bisa berhubungan dengan dunia material ini untuk memberi nasehat ataupun menghubungkan manusia di dunia meterial ini dengan Tuhan yang di alam ghaib.
Makam nenek moyang adalah suatu tempat komunikasi dengan  dunia arwah dengan dunia material, maka dari itu tempat tersebut sacral dan di hormati. Komunikasi dengan arwah nenek moyang dilakukan dengan upacara atau ritual tertentu semisal nyekar dengan membakar kemenyan, bersemedi dan slametan atau wilujengan.[15] Hal ini bagi masyarakat Jawa merupakan unsur terpenting dari hampir semua ritus dan upacara dalam system religi orang Jawa pada umumnya dan penganut agama jawi pada khususnya.
 Budaya dan kepercayaan masyarakat Jawa terhadap tokoh keramat, roh dan slametan tersebut masih tetap ada dan berkembang pada zaman modern ini di kalangan masyarakat Jawa meski sudah tidak menganut agama jawi. Hanya bentuk eksistensi dan ritualnya sedikit berubah namun esensinya masihlah tetap sama dengan yang masyarakat Jawa kuno.
c.       Panata Wara
Sejak dahulu masyarakat Jawa kuno memiliki ilmu panata wara yang meliputi pasaran, hari, bulan, wuku, tahun dan pranata mangsa. Berdasarkan panata wara tersebut berkembanglah ngelmu petung (perhitungan). Perhitungan tersebut meliputi baik dan buruknya pasaran, hari, bulan dan lain sebagainya. Mengenai asal mula masyarakat Jawa mengenal hari, pasaran dan pranata mangsa sebagai berikut. Pertama, Batara Surya turun ke bumi menjelma menjadi Brahmana Radhi di gunung Tasik. Ia mengubah hitungan yang disebut panca wara atau sekarang disebut pasaran dari nama kunonya manis, pethak, abrit, jene, cemeng dan kasih menjadi legi, pahing,pon, wage dan kliwon.
Kedua, Brahmana Radhi diboyong dijadikan penasehat Prabu Silacala di Gilingwesi. Sang Brahmana mengajari cara membuat sesaji, yakni sajian untuk dewa-dewa selama tujuh hari berturut-turut dan setiap kali habis di beri nama sebagai berikut. Sesaji emas yang dipuja dewa matahari diberi nama radite atau dalam hari arab ahad, sesaji perak yang di puja bulan di beri nama soma atau dalam hari arab senin, sesaji gangsa (perunggu) yang dipuja api diberi nama anggara atau setara dengan hari selasa, sesaji besi yang dipuja bumi di beri nama budha atau setara dengan hari rabu, sesaji perunggu yang di puja petir di beri nama respati atau setara dengan hari kamis, sesaji tembaga yang dipuja air diberi nama sukra atau setara dengan hari  jumat, sesaji timah yang dipuja angin di beri nama sanicara setara dengan hari sabtu. Semua hari yang tujuh tersebut di sebut sapta wara dan akhirnya digabungkan dengan lima panca wara yang mana hingga sekarang masih di pakai oleh sebagian besar masyarakat Jawa.[16]
3.      Kesimpulan
Asal usul masyarakat Jawa sendiri berdasarkan keilmuan sejarah sarjana barat akan sulit sekali ditemukan dengan secara pasti dan kredibel. Namun jejak perjalanan masyarakat Jawa akan banyak di temui dengan cerita-cerita yang secara turun temurun yang di bungkus dengan mistis dan kesakralan tertentu. sedangkan Masyarakat Jawa sendiri memiliki karakteristik budaya yang khas sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Pada garis besarnya, budaya Jawa dapat dibagi menjadi dua, yaitu budaya lahir dan budaya batin.
Sedangkan macam-macam budaya jawa yang berakulturasi yang masih eksis sampai zaman modern ini adalah bahasa Jawa baik lisan maupun tulisan, kepercayaan akan adanya roh-roh tokoh yang dikeramatkan, yang bisa menghubungkan manusia dunia material dengan tuhan dalam dunia ghaib, dan slamatan sebagai ritual komunikasi tersebut yang sekarang pun masih eksis dan berakulturasi dengan kebudaya islam. Disamping itu ada ilmu perhitungan hari yang juga masih di gunakan pada masyarakat jawa di era modern ini. Semua hal tersebut merupakan cirri khas pemikiran orang jawa, yang masih menyukai berpikir mistis dan tradisional.



DAFTAR PUSTAKA
Damami, Muhammad,  Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa, Yogyakarta, LESFI, 2002.
endaswara, Suwardi, Mistik Kejawen, Yogyakarta, Narasi, 2003,
hadisutrisno, Budiono, Islam Kejawen, Yogyakarta, Eule Book, 2009
Priyo Prabowo , Dhanu. dkk, Pengaruh Islam Dalam Karya-Karya Ronggo Warsito, Yogyakarta, Narasi,2003 .
Roqib, Moh., Harmoni Dalam Budaya Jawa, Purwokerto, Stain Purwokerto Press, 2007,

















[1]Muhammad Damami, Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa, Yogyakarta, LESFI, 2002, 11-12. 
[2] Dhanu Priyo Prabowo. dkk, Pengaruh Islam Dalam Karya-Karya Ronggo Warsito, Yogyakarta, Narasi, 2003, 24.
[3]Muhammad Damami,ibid…, 7-8.
[4] Dhanu Priyo Prayogi, ibid…, 24-25.
[5] Moh. Roqib, Harmoni Dalam Budaya Jawa, Purwokerto, STAIN Purwokerto Press, 2007, 227.
[6] Dhanu Priyo Prayogi, ibid…,26.
[7] Suwardi Endaswara, Mistik Kejawen, Yogyakarta, Narasi, 2003, 8.
[8] Budiono Hadisutrisno, Islam Kejawen, Yogyakarta, Eule Book, 2009, 24-25.
[9] Moh. Roqib, ibid…, 235-236.
[10] Dhanu Priyo Prayogi, ibid…, 33.
[11] Moh. Roqib, ibid,…, 42.
[12] Budiono Hadisutrisno, ibid…, 13-14.
[13] Moh. Roqib, ibid…, 53.
[14] Ibid…,54-55.
[15] Budiono Hadisutrisno, ibid…,62.
[16] Ibid…, 23-24..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar