A. PENDAHULUAN
Islam beberapa dekade ini sangatlah di sorot dan dikritik oleh dunia internasional sebagai agama yang penuh dengan kotroversial selama kurun waktu berabad-abad sejak kelahirannya. Ketimpangan dalam memaknai islam secara parsial sebagai sebuah agama oleh berbagai kalangan termasuk cendikiawan muslim sendiri, yang terkadang menyebabkan kerugian dan kenistaan bagi kaum muslim sendiri menjadi penyebabnya. Maka dari itu umat Islam harus duduk bersama dan memecahkan permasalahan ini dengan segera sebelum dampak negatif yang ditimbulkannya tidak semakin meluas.
Seperti kata Max Webber dalam bukunya The Protestan Etic And The Spirit Capitalizm yang menyatakan bahwa agama memiliki fungsi yang struktural dalam
masyarakat, seperti masyarakat kalangan atas menggunakan agama sebagai legitimasi atas tindakannya dan masyarakat kalangan bawah menggunakan agama sebagai alat penyelamat dari kerasnya kehidupan yang ia jalani. Hal ini pula yang di alami oleh kalangan umat Islam semenjak masa post-imperealisme barat. Hingga permasalahan tersebut memunculkan cendikiawan-cendikiawan muslim yang tergerak untuk melakukan perubahan dan pembaharuan dalam memandang Islam sebagai sebuah agama yang bisa di anut manusia secara universal bukan hanya di kalangan
tertentu saja.masyarakat, seperti masyarakat kalangan atas menggunakan agama sebagai legitimasi atas tindakannya dan masyarakat kalangan bawah menggunakan agama sebagai alat penyelamat dari kerasnya kehidupan yang ia jalani. Hal ini pula yang di alami oleh kalangan umat Islam semenjak masa post-imperealisme barat. Hingga permasalahan tersebut memunculkan cendikiawan-cendikiawan muslim yang tergerak untuk melakukan perubahan dan pembaharuan dalam memandang Islam sebagai sebuah agama yang bisa di anut manusia secara universal bukan hanya di kalangan
Berbagai ide-ide spekulatif muncul untuk membangkitkan Islam dari ke-jumudan nya, dari peran ulama yang dianggap terlalu konservatif dan normatif dalam memegang agama Islam sampai upaya membuka kembali pintu ijtihad dan menafsirkan kembali Al-quran dengan metode hermeneutika yang dianggap lebih bisa membawa Islam berada dipuncak seperti dimasa keemasannya yang lalu.
Banyak cendikiawan muslim seperti Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Fazlur Rahman, Ridla Pasya, Syaih Waliyyulah, Hasan Al-Banna, Asghar Ali Engginer hingga Hasan Hanafi, mencoba melepaskan umat Islam dari penindasan dan keterpurukan yang telah lama mereka alami dalam masa imperealisme barat, dengan melalui usaha-usaha revolusioner di berbagai bidang dengan Islam sebagai ideologi yang memanyunginya. Dari semua usaha yang mereka lakukan banyak sekali mempengaruhi pemikiran-pemikiran para cendikiawan muslim sesudahnya untuk melakukan hal yang sama dengan tujuan yang sama pula.
Namun dalam dalam hal ini masyarakat muslim di harapkan harus mengkritisi pemikiran-pemikiran para cendikiawan muslim diatas terutama hasan hanafi dengan konsep -nya yang banyak sekali mempengaruhi cendikiawan muslim di seluruh dunia dalam usaha memperbaiki citra Islam di mata dunia internasional dan membangkitkan Islam dari kemandekan berpikirnya selama beberapa dekade terakhir sejak era Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd.
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai refeleksi pemikiran kembali konsep Islam yang bersifat universal yang bisa diterima oleh umat muslim di seluruh dunia dan non-muslim pada umumnya, Di samping itu makalah ini mencoba untuk memecahkan masalah yang timbul dalam pemikiran muslim modern seperti Hasan Hanafi yang di nilai kurang menggerakkan perubahan dan menyentuh umat muslim secara keseluruhan.
Pembahasan kajian kritis Hasan Hanafi dalam makalah ini yang pertama adalah tentang siapa Hasan Hanafi dan apa yang melatar belakangi pemikirannya? Bagaimana konsep kiri islam Hasan Hanafi sebagai gerakan revolusioner Islam? Bagaimana cara mengkritisi pemikiran Hasan Hanafi dan apa urgensinya? Dari hal-hal diatas makalah ini di harapkan dapat memberi kontribusi lebih dalam memperkaya khazanah pemikiran Islam yang progesif.
B. METODE KAJIAN
Dalam penulisan karya ilmiah ini penulis menggunakan jenis penelitian “ library reseach” yaitu telaah yang dilaksanakan untuk menyelesaikan suatu masalah dengan menggunakan bahan-bahan pustaka. Karya ilmiah jenis ini berisi suatu topik yang di dalamnya memuat gagasan, yang didukung oleh data yang diperoleh dari sumber pustaka.
C. PEMBAHASAN
1. Biografi Hasan Hanafi
Hassan Hanafi lahir di kota Kairo, ibu kota Republik Arab Mesir, pada tanggal 13 februari 1935. keluarganya berasal dari Bani Swaif, salah satu provinsi Mesir selatan, namun kemudian mereka pindah ke Kairo. Sedangkan kakek Hasan Hanafi berasal dari Maroko dan neneknya berasal dari Bani Mur. Gamal Abadel Naser juga berasal dari kabilah yang sama dengan nenek Hasan Hanafi. Kakek Hasan Hanafi pindah ke Kairo saat ia pulang dari musim haji. Dalam persinggahannya di Kairo untuk pulang ke kampung halamannya ia bertemu dengan nenek Hasan Hanafi dan menikahnya serta menetap di Kairo.
Pada usia lima tahun Hanafi sudah mulai menghafal Al-Quran dengan bimbingan Syaikh Sayyid yang berada di daerah jalan Al-Banhawi pinggiran kota Kairo selatan pendidikan dasarnya ia selesaikan selama lima tahun di madrasah Sulayman Ghawish, Bab Al-Fututh, suatu daerah yang berbatasan dengan benteng Salahudin Al-Ayyubi. Setamat dari sekolah itu, Hasan Hanafi masuk sekolah pendidikan guru Al-Mu’allimin. Namun ketika hendak memasuki tahun kelima, tahun terakhir pendidikan sekolah tersebut. Sekolahnya itu pindah di daerah Al-Hakim Bi Amrilah. Di sekolah itu pula Hasan Hanafi banyak belajar bahasa asing. Sedangkan sekolah menengah hanafi tempuh di Khalil Agha.
Gelar sarjananya ia raih pada tanggal 11 oktober 1956 dari kulliyat arab ( fakultas sastra) jurusan filsafat Universitas Kairo. Setelah itu Hanafi pergi ke Perancis ntuk memperdalam filsafat di Universitas Sorbone, dengan spesialisasi filsafat barat modern dan pra modern. Selama kurang lebih sepuluh tahun Hanafi tinggal di Perancis, salah satu negara tempat para orientalis berada. Dalam rentang waktu itu ia menguasai pemikiran, tradisi dan keilmuan barat, konon Hanafi juga pernah mengajar bahasa arab di Ecole Des Langues Orientales di Paris.
Pada tahun-tahun awal keberadaanya di Perancis Hanafi sempat mengikuti kursus musik di salah satu sekolah tinggi musik di paris. Hal ini tak lain karena Hanafi memiliki minat pada dunia seni. Keluarganya pun di kenal merupakan musisi di Kairo. Begitu seriusnya ia belajar musik ia sampai-sampai ia pernah bercita-cita untuk menjadi musisi dan komponis tingkat dunia. Pagi hari kursus musik, siang harinya kuliah dan sore hari ia gunakan untuk membaca atau menciptakan simponi musik. Ia harus membagi waktu untuk kesibukannya tersebut. Namun setelah berjalan dua tahun dengan kesibukan seperti itu, Hanafi sempat terkena TBC akibat kelelahan. Dokter menyarankan untuk menentukan pilihan antara musik atau filsafat. Hanafi akhirnya lebih memilih filsafat, sebab dalam filsafat ia masih dapat menemukan pandangan yang apresiasif terhadap estetis kehidupan. Pandangan itu ia temukan di dalam aliran filsafat Hermeneutika Romantisme.
Hasan Hanafi menyusun disertasi yang berjudul Essai Sur La Methode D’Exegese (esei tentang metode penafsiran). Disertasi setebal 900 halaman tersebut memperoleh penghargaan untuk penulisan karya ilmiah terbaik Mesir pada tahun 1961. karya monumental Hanafi tersebut merupakan upaya Hasan Hanafi dalam menghadapkan ilmu ushul fiqh kepada suatu mazhab filsafat modern, yaitu epistemilogi fenomenologi yang dirintis oleh Edmund Hurssel. Upaya Hanafi ini merupakan suatu eksperimen yang menarik, sebab infinitas dari rangkaian fenomena kehidupan, yang sama sekali tidak memiliki pretensi kelanggengan, diterapkan pada ketangguhan kerangka berpikir yang dimaksudkan untuk mendukung keabadian Al-Quran. Setelah mendapatkan gelar doktornya ia kembali ke Kairo dan menjadi dosen di Universitas Kairo di fakultas sastra jurusan filsafat. Ia mengajar mata kuliah pemikiran kristen abad pertengahan dan filsafat islam.
Reputasi internasional Hasan Hanafi sebagai pemikir ternama mengatarkannya untuk meraih beberapa jabatan guru besar luar biasa di berbagai perguruan tinggi ternama di luar Mesir. Pada tahun 1969, Hanafi menjadi profesor tamu di Perancis, selain itu ia juga pernah ke Belgia tahun 1970 dan Amerika tahun 1971-1975. kepergiannya ke Amerika Serikat untuk mengajar di Universitas Temple sebenarnya merupakan pilihan Hanafi ketika pemerintahan Mesir memberikan pilihan kepadanya antara tetap tinggal di Mesir dengan syarat menghentikan aktivitas intelektualnya dan gerak geriknya yang membuat gerah pemerintah atau pergi keluar negeri. Di Amerika Serikat, Hasan Hanafi mempertajam penguasannya atas filsafat Anglo-Saxon dan studi tentang agama-agama. Pada periode itu ia menulis tentang agama Yahudi, Kristen dan Islam dalam rangka membangun dialog antar agama.
Selain itu Hasan Hanafi pernah berkunjung ke Kuwait (1979), Maroko ( 1982-1982), Jepang (1984-1985) dan Uni Emirat Arab 1985. ia juga pernah ke Belanda, Swedia, Portugal, Spanyol, India, Sudan, Saudi Arabia, dan Indonesia dalam rentan tahun 1980-1987. dalam kunjungannya tersebut ia banyak bertemu dengan para pemikir-pemikir ternama yang kemudian memberi sumbangan pada keluasan tentang persoalan hakiki yang di hadapi oleh umat manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya.
Sedangkan karya-karya Hasan Hanafi dapat di pilah-pilah menjadi tiga periodesasi, yang pertama yaitu tahun 60-an. Tulisan-tulisan Hanafi lebih di pengaruhi oleh paham-paham dominan yang berkembang di Mesir pada waktu itu seperti nasiolistik, sosialistik, populistik yang juga dirumuskan sebagai ideologi pan-arabik. Selama periode itu Hanafi sedang menempuh studi di Universitas Sorbone, Perancis.
Pada periode kedua yaitu tahun 70-an. Hanafi memberikan perhatian utama pada sebab-sebab kekalahan bangsa Arab ketika berperang melawan Israel pada tahun 1967. pada periode ini tulisan Hasan Hanafi lebih populis. Sedangkan pada periode ketiga yaitu pada tahun 80-an dan 90-an, karya-karya Hasan Hanafi memiliki latar belakang politik yang relatif stabil di banding periode sebelumnya. Karya-karya Hanafi memang lebih banyak bergumul dengan sosio-politik hal ini karena ia memang seorang yang peduli dengan negaranya (patriotis) dan ia sudah bergumul dengan dunia tersebut selama 35 tahun.
2. Pemikiran Kiri Islam Hasan Hanafi
Menurut Hasan Hanafi ajaran mulai dari nabi Adam sampai nabi Muhammad adalah “ajaran kiri”. Islam adalah ajaran praksis yang selalu memberontak terhadap tatanan-tatanan sosial yang menindas dan diskriminatif. Para nabi pembawa Islam adalah hamba –hamba kebenaran yang berjuang dengan sepenuh jiwa demi membela kesetaraan sosial. Inti dari Islam yang diserukan oleh Musa, Isa dan Muhammad adalah sama, meskipun masyarakat lingkungan hidup mereka berbeda-beda. Tujuan yang hendak dicapai oleh para nabi adalah berdirinya suatu tatanan sosial yang berdasarkan pada nilai-nilai luhur kebenaran, kesetaraan sosial dan persaudaraan.
Menurut Hanafi, Islam selalu kiri tidak pernah kanan karena Islam tidak akan pernah membenarkan kedzaliman dan akan menghilangkan bila ada kedzaliman terjadi. Islam selalu tampil melawan dan menumbangkan kedzaliman dan tidak pernah berkompromi dengan kekuatan non-ilahiah apapun yang mencoba mengebiri akal-nalar, membelenggu kebebasan, serta mengeksploitasi alam dan manusia untuk kepentingan sesaat kelompok kecil tertentu.
Dengan demikian kiri dan kanan akan selalu ada dalam lingkungan pemikiran Islam dan akan terjadi pada perilaku orang atau kelompok yang mengusung nama Islam. jadi, yang dimaksud dengan Kiri Islam adalah kiri dalam pemikiran Islam berikut produk-produknya, termasuk produk pemikiran klasik yang biasa disebut turats dan dalam perilaku umat Islam (penguasa, rakyat dan kaum intelektualnya) sepanjang sejarah mereka.
Kanan dan kiri Islam pada dasarnya adalah cerminan dari dua kondisi sosial yang menunjukkan adanya dua kelas sosial. Masing-masing kelas memepertahankan haknya dengan membangun kerangka teoritis yang di ambil dari tradisi-tradisi yang ada dalam masyarakarat dalam wujud ajaran-ajaran keagamaan. contahnya seperti kaum elit yang minoritas mengeksploitasi kaum proleta yang mayoritas. Mereka mencoba menafsirkan agama sesuai dengan keinginan dan mereka sendiri karena sifat agama yang mememiliki fleksibelitas bagai pisau bermata dua.
Gerakan kiri Islam modern yang dibawa oleh Hasan Hanafi sebenarnya adalah hendak menjadikan islam sebagai sesuatu gerakan revolusioner yang berkesinambungan, sebagai kelanjutan dari gerakan-gerakan yang dilakukan oleh pemabaharu yang lain seperti Ibnu Taimiyah, Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, Hasan Al-Banna dan sebagainya.
Perbincangan mengenai Kiri Islam sebenarnya akan membawa kita kepada permasalahan teologi pembebasan, karena akar mula Kiri Islam terlahir dilandasi ingin mengejawantahkan sebuah Islam yang berarti agama yang membebaskan dari kedzaliman dalam arti yang sebenarnya. Hasan Hanafi berbicara tentang teologi pembebasan terinspirasi teologi pembebasan yang dilakukan oleh Gustavo Gueteres di amerika latin. Hal ini ia dapatkan saat ia berkunjung ke Amerika antara tahun 1971-1975. namun konteks pembebasan yang diusung oleh Hanafi ini lebih bersifat universal tentang Islam bukan hanya dalam hal ajaran agamanya saja namun sama pada intinya yaitu menggugat kemapanan agama kaum konvensional.
Dalam kerangka itulah Islam lahir, Kiri Islam merupakan gerakan transformasi dan manifestasi nilai-nilai ideal yang termuat di dalam ajaran-ajaran agama yang ada di dalam hafalan dan genggaman umat Islam selama ini. Transformasi akidah tauhid yang telah dimiliki umat Islam dan dijadikan umat Islam sebagai pedoman untuk melahirkan pembebasan dan revolusi besar terhadap segala bentuk tirani yang membelenggu. Kiri Islam mengupayakan rekonstruksi ilmu-ilmu keislaman dari konstruk lama yang tidak lagi sejalan dengan kebutuhan zaman, menjadi konstruk yang lebih progesif, populis dan humanis.
Kiri Islam berbicara tentang keharusan bagi Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progesif, dengan dimensi pembebasan di dalamnya. Watak pembebasan dari wawasan itu bertumpu pada beberapa anasir penompang. Disatu pihak, gagasan tentang keadilan sosial yan harus ditegakkan. Penopang berupa keadilan sosial itu menembus segala bentuk dan corak pemerintahan. Dipihak lain, keadilan manusia yang tergabung di dala kegiatan terorganisir yang mengarah kepada tujuan pembebasan tersebut. Untuk memungkinkan kiprah mereka menjadi efektif, diperlukan ideologi yang secara terang-terangan menyuarakan pembebasan. Pada titik itulah ditemukan relevansi Kiri Islam dengan teologi pembebasan.
3. Mengkritisi Pemikiran Keislaman Hasan Hanafi
Hal yang perlu dikritisi dari pemikiran Hasan Hanafi yang pertama kali yaitu Kiri Islam sebagai suatu usaha untuk menggugat kemapanan pemikiran kaum fundametalis dengan menggunakan pemikiran kaum kiri seperti mu’tazilah, syi’ah dan kawarij . Bagi umat Islam aliran-aliran Islam diatas tidaklah asing lagi karena merekalah yang pertama kali memulai arus pemikiran baru dalam Islam, terlepas dari sejarah hitam yang mereka torehkan dimasa lalu.
Hanafi sebenarnya ingin menciptakan suatu kesadaran Islam yang aktif bukan kesadaran pasif yang selama ini tengah umat Islam alami yaitu dengan bertaklid kepada kemapanan pemikiran ulama salaf yang dinilai Hanafi sangat merugikan bagi perkembangan intelektual Islam dan ajaran agama Islam. hal ini sejalan dengan pemikiran Adonis, ia berpendapat bahwa teorisasi konservatif bertujuan untuk menciptakan kesadaran yang sejalan dengan struktur sistem kekuasaan yang ada, kesadaran yang mempraktikan ketaatan dan sikap tunduk sedemikian rupa, sehingga tujuan dari keberadaan kesadaraan (pasif) itu hanyalah melestarikan kekusaan itu. Jadi taklid itu hanyalah membuat lena umat muslim dalam kemapanan yang fiktif jadi umat jauh dari kemajuan dan ajaran agama yang sebenarnya.
Namun perlu digaris bawahi bahwa Adonis juga berpendapat zaman itu ada dua makna, yang pertama zaman keruntuhan atau jauh dari asal. Disini zaman dihindari dan dinegasikan. Dengan demikian manusia harus memeranginya hingga ia dapat menghindari dan menegasikannya. Ia melakukan itu agar yang asal itu tetap ada, maksudnya agar ia dapat menarik ulang dan mengulang-ulang yang asal tersebut.
Yang kedua, zaman merupakan ukuran gerak, gerak terjadi dalam ruang. Jika zaman merupakan tempat dan simbol dari kekurangan maka demikian juga dengan tempat, ia merupakan tempat dan simbol dari kekurangan. Dari sini dapat dilihat bahwa jika hasan Hanafi ingin merevolusi yang asal dari zaman nabi dengan pembaharuannya, maka sebenarnya Hanafi itu sudah bukan berpikir tentang Islam lagi karena ia sudah berubah dari yang asal, namun bila ia hanya ingin mereformasi pemikiran tanpa merubah yang asal maka ia tetap berpikir Islam.
Dari definisi zaman Adonis diatas dapat di simpulkan juga bahwa Hasan Hanafi tidak perlu merevolusi tatanan hidup ala islam yang ada namun hanya perlu membawa kehidupan zaman nabi yang dianggap paling mapan, di masa yang akan datang dengan merumuskan segala substansi yang terkandung di dalamnya, bukannya masa mendatang yang di paksa harus mundur seperti zaman nabi. Namun Revolusi Kiri Islam yang dibawa Hanafi seolah-olah ingin menarik Islam mundur ke zaman nabi walaupun pemikirannya ia terbilang modern dan progesif di dunia barat, namun pada hakekatnya ia telah keliru untuk membuat sesuatu yang serba baru dan spekulatif untuk sebuah ajaran yang dijaga kemurniannya. Namun bukan berarti Islam tidak bisa menerima pembaharuan, namun pembaharuan itu haruslah tidak berbeda jauh dengan yang asal, karena sesuatu yang berbeda dengan yang asal, maka sebenarnya hal itu bukanlah sesuatu yang sama, namun yang baru diciptakan dan sama sekali berbeda.
Sebagai contohnya Pemikiran Hasan Hanafi sangatlah tidak relevan bila diterapkan di Islam nusantara, karena pemikirannya itu terlalu over confident untuk sebuah gagasan yang fundament Islam. contohnya Seperti corak berpikir islam nusantara sangatlah berbeda jauh dengan islam timur tengah yang cenderung lebih sering berbenturan dengan arus pemikiran barat. Disini perlu di garis bawahi bahwasanya konflik dan permasalahan yang umat muslim timur tengah dengan umat muslim nusantara hadapi sangatlah berbeda esensinya. Jadi tidak bisa semua umat Islam dipukul rata permasalahannya dan penyelesaiannya.
Hasan Hanafi dengan kiri Islamnya menawarkan konsep Islam yang eksoteris saja, hal ini di buktikan ia hanya menuntut kemajuan pola pikir umat Islam dan kesatuan umat Islam yang solid saja. Namun Hanafi melupakan konsep dasar agama, bahwa agama itu bukan hanya semua yang bisa bersifat empirik saja namun banyak sekali hal-hal yang bersifat supra-empiris. Agama juga bukan bersifat yang rasional saja namun juga bersifat batiniah. Prof. Hamka mengatakan, bahwa akal itu sebenarnya tiada bisa berbuat apa-apa jikalau tanpa khayal yang mendahuluinya, akal itu baru bisa bekerja jika khayal yang mendahuluinya dan menggerakkannya, jadi kesimpulannya rasio itu bukan segalanya karena pada kenyataanya ia tidak bisa bergerak tanpa ada khayal yang mendahuluinya.
Hanafi kelihatannya lupa akan satu hal bahwa tujuan agama Islam adalah Rahmatan lil’alamin, yang mana hatilah yang bisa menerima rahmat itu bukan rasio, rasio adalah alat pengukur sesuatu yang telah ada bukannya sesuatu yang belum pernah ada. Memang rasio bisa membedakan yang baik dan yang buruk, namun hal itu sangatlah terbatas karena tidak semua kebaikan atau keburukan bisa diketahui oleh rasio.
Satu lagi pemikiran Hasan Hanafi yang menarik yaitu tentang konsep hermeunitika Al-Quran yang menggunakan konsep filsafat romantisme Scheleumecer. Hermeneutika ini cenderung melihat kebelakang untuk menerjemahkan suatu teks , namun Hanafi sendiri membuat iniovasi baru dalam menerjemahkan Al-Quran yang bertendensi kepada hermeunitika fenomenologi Gadamer dan Heidiger, menerjemahkan teks selain melihat masa lalu teks itu turun namun melihat kondisi masa sekarang dan yang akan datang. Namun hal itu juga tanpa kekurangannya, Hanafi disini cenderung membuat Islam mengalami desakralisasi Al-Quran, Al-Quran akan diterjemahakan dengan filsafat skeptisisme maka Al-Quran akan mengalami penerjemahan secara spekulatif dan kita harus bersikap skeptis terhadapnya karena teks Al-Quran cenderung ditekankan kepada memaknainya dan sedikit memperhatikan keadaan teks itu sendiri. Hal ini akan menjadikan kekacauan pemikiran Islam untuk menerjemahkan al-quran dalam jangka waktu yang cukup lama.
Namun inti kekacauan pemikiran hasan hanafi adalah bahwa ia hanya fokus untuk membentuk kekuatan Islam dalam hal keduniawian tanpa mempertimbangkan aspek ukhrowinya. Hal itu tidak dapat dihindari karena percaya akan hari akhir juga penting karena termasuk rukun iman. Seperti yang dikatakan oleh Prof. Fauzan Saleh bahwa perilaku seseorang yang beragama haruslah mencerminkan kesalehan individu dan kesalehan sosialnya, maksudnya individu bersifat ukhrawi dan masyarakat bersifat duniawi. Hal ini juga sejalan pendapat Fazlur Rahman dalam konsep neo-sufismenya yang melandaskan keseimbangan duniawi dan ukhrawi(tawazun).
Namun terlepas dari kekacauan pemikiran Hasan Hanafi diatas, dapat diambil hikmahnya yaitu Hanafi telah menggugah seluruh umat Islam yang puas dengan kemapanan ajaran agamanya untuk selalu memperbaharuinya dan peduli terhadap agamanya lebih dari apapun yang mereka miliki. Hanafi telah menggugah umat Islam untuk selalu berbuat lebih dan melakukan jihad sekuat tenaga namun dengan batas-batas tertentu pastinya, tanpa melanggar syariat dan ketentuan agama. Memang perlu ada perubahan yang nyata untuk umat Islam dan ajaran agama Islam, karena islam adalah agama yang progesif bukan agama yang menang secara kuantitas namun kalah dalam kualitas.
D. KESIMPULAN
Menurut Hanafi, Islam selalu kiri tidak pernah kanan karena Islam tidak akan pernah membenarkan kedzaliman dan akan menghilangkan bila ada kedzaliman terjadi. Islam selalu tampil melawan dan menumbangkan kedzaliman dan tidak pernah berkompromi dengan kekuatan non-ilahiah apapun yang mencoba mengebiri akal-nalar, membelenggu kebebasan, serta mengeksploitasi alam dan manusia untuk kepentingan sesaat kelompok kecil tertentu.
Dengan demikian kiri dan kanan akan selalu ada dalam lingkungan pemikiran Islam dan akan terjadi pada perilaku orang atau kelompok yang mengusung nama Islam. jadi, yang dimaksud dengan Kiri Islam adalah kiri dalam pemikiran Islam berikut produk-produknya, termasuk produk pemikiran klasik yang biasa disebut turats dan dalam perilaku umat Islam (penguasa, rakyat dan kaum intelektualnya) sepanjang sejarah mereka.
Kiri Islam berbicara tentang keharusan bagi Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progesif, dengan dimensi pembebasan di dalamnya. Watak pembebasan dari wawasan itu bertumpu pada beberapa anasir penompang. Disatu pihak, gagasan tentang keadilan sosial yan harus ditegakkan. Penopang berupa keadilan sosial itu menembus segala bentuk dan corak pemerintahan.
Hanafi sebenarnya ingin menciptakan suatu kesadaran Islam yang aktif bukan kesadaran pasif yang selama ini tengah umat Islam alami yaitu dengan bertaklid kepada kemapanan pemikiran ulama salaf yang dinilai Hanafi sangat merugikan bagi perkembangan intelektual Islam dan ajaran agama Islam. Memang perlu ada perubahan yang nyata untuk umat Islam dan ajaran agama Islam, karena islam adalah agama yang progesif bukan agama yang menang secara kuantitas namun kalah dalam kualitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar