Selasa, 21 Juni 2011

SOSIOLOGI AGAMA


SOSIOLOGI AGAMA

PETER L BERGER :  menurutnya agama adalah sebagai kebutuhan dasar manusia, karena agama sebagai alat untuk membela diri terhadap kekacauan yang mengancam hidup manusia.  Bagi Peter L Berger agama merupakan langit-langit sakral (sacral canopy) yang terbentang diatas kerapuhan dan vulnerabilitas eksistensi manusia, yang berpuncak pada kematian. Bagi berger kecemasan yang dialami oleh manusia dalam mengahadapi maut ini adalah manifestasi dari eksisistensialis manusia, yang pada akhirnya agama muncul sebagai kekuatan yang menghalau kecemasan yang dialami manusia tersebut.

Hal ini sama dengan Sigmund Freud dalam hal fungsi agama sebagai kekuatan yang digunakan oleh manusia sebagai penghibur dalam kehidupan manusia yang dirasanya sangat berat. menurut Freud bagi
manusia pada umumnya kehidupan manusia ini dalam situasi yang tidak tertolong dan tanpa pertahanan. Jadi untuk mempertahankan diri dari ancaman tersebut maka manusia membutuhkan penghibur untuk melepaskan diri dari teror yang menghantui kehidupannya. Dalam situasi yang membutuhkan penghibur demikian dan motif praktis yang kuat akhirnya manusia dituntut mendapatkan jawaban dari situasi tersebut, sehingga muncul agama sebagai jawaban situasi yang mencekam tersebut. Maka dari itu agama memberi kedamaian yang manusia inginkan walaupun menakutkan pada titik tertentu, namun agama cukup membuat nyaman manusia hidup didunia serasa dirumahnya sendiri. Walaupun sebenarnya agama tidak memberi pertahanan apa-apa bagi manusia namun setidaknya agama telah memberi daya bagi manusia dan sekaligus untuk bereaksi
menghadapi  dari teror kehidupannya.
Dalam teori konstruksi sosial yang Peter L Berger ajukan sama dengan Joachim Wach dan Hebert Spencer dengan konsep diferensiasinya tentang dialektika masyarakat dengan individu. Menurut Berger bahwa manusia adalah makhluk yang terus menerus membangun dunianya lewat eksternalisasi, yaitu pencurahan diri manusia yang bersifat subjektif kedalam  dunia diluar dirinya untuk membentuk masyarakat. Apa yang dihasilkan manusia atas interaksinya dengan masyarakatnya (dunia diluar dirinya) maka memperoleh bentuk yang objektif, menjadi relaitas sui generis , ini merupakan proses objetivikasi. Setelah dunia objektif telah tercipta, maka dunia objektif ini harus diserap kembali dalam proses internalisasi sehingga dunia objektif mempengaruhi dunia subjektif manusia, yang disebut mikro objektif. Berger disini mencoba menjelaskan dialektika antara subjetifitas yang dimiliki individu yang membentuk masyarakat dan mengalami interaksi dan proses objektivikasi yang pada akhirnya mengalami internalisasi (mempengaruhi) subjektifitas individu tersebut. Hal ini pulalah proses yang membentuk agama individu dan agama masyarakat yang dimaksud oleh Peter L Berger.  
Sedangkan Joachim Wach berpendapat bahwa ada hubungan yang interdipendensi antara agama dan masyarakat yang bersifat timbal-balik(dialektis). Yang pertama agama mempengaruhi masyarakat yang terlihat dalam pembentukan, pengembangan dan penentuan kelompok keagamaan spesifik yang baru. yang kedua masyarakat terhadap agama, disini Wach memfokuskan pada fungsi sosial yang memberikan manusia pada keragamaan perasaan dan sikap kegamaan yang terdapat dalam suatu lingkungan atau kelompok sosial tertentu, yang mana antara yang satu dengan yang lain berbeda.
Dengan demikian menurut Wach pengalaman esoterik dari suatu agama atau kepercayaan tidaklah berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan dimensi lain diluar dirinya. Selain dibentuk oleh substansi ajarannya, dimensi ini juga dipengaruhi oleh struktur sosial dimana suatu keyakinan itu dimanifestasikan oleh para pemeluknya. Namun fungsi agama yang diungkapkan Wach berbeda dengan Peter L Berger, yaitu agama lebih berfungsi kepada sebagai alat legitimasi dari proses perubahan yang terjadi disekitar kehidupan masyarakat dari pada sebagai alat pembela diri dari rasa cemas yang dirasakan oleh manusia.

BRONISLAW MOLINOWSKI :  tidak ada bangsa, bagaimanapun primitifnya , yang tidak memiliki agama dan magi. Agama dapat dipandang sebagai kepercayaan dan pola perilaku yang diusahakan oleh suatu masyarakat untuk menangani masalah penting yang tidak dapat dipecahkan oleh teknologi dan teknik organisasi yang diketahuinya.
Molinowski dalam hal ini sama dengan Thomas f. O’dea yang mengatakan bahwa agama adalah pendayagunaan sarana-sarana supra-empiris untuk maksud-maksud non-empiris atau supra-empiris. Hal ini berarti bahwa agama sebagai sandaran manusia ketika terjadi hal-hal yang berada diluar jangkauan kemampuan dan pengetahuan empiris manusia, karena sifatnya yang supra-natural sehingga agama diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah yang non-empiris.
Molinowski memfokuskan pembahasannya kepada agama dan magi. Dimana magi bersifat praktis dan sederhana serta memiliki fungsi meritualisasikan optimisme manusia mengalahkan rasa takut. namun magi mempunyai teknik tersendiri dan terbatas, magi sendiri memiliki tujuan yang lebih khusus dari pada agama. Sebagai contoh ritus magi dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat (suku tobrian) apabila masyarakat tersebut hendak melakukan pelayaran untuk mencari ikan agar selamat dan mendapatkan hasil yang melimpah, sedangkan masyarakat akan melakukan ritus keagamaan untuk merayakan kelahiran seorang bayi. Hal ini di karenakan sifat agama sendiri mempunyai aspek-aspek dan tujuan yang lebih kompleks, lebih beragam dan lebih kreatif. Dan agama sendiri memiliki fungsi memberikan sumbangan moral pada manusia dengan mempertingginya.
Bila magi dilakukan bersama-sama dengan anggota masyarakat maka sebaliknya agama dilakukan suatu badan yang didalamnya terdapat perbuatan diri sendiri sebagai diri sendiri untuk memenuhi tujuan, agama menyediakan lintasan yang melampaui pengetahuan manusia yang ada dan keselamatan di balik garansi yang dapat di berikan oleh hubungan manusia. Namun pada dasarnya keduanya membuka jalan untuk melepaskan diri dari situasi impase tersebut. Karena tidak ada jalan keluar yang masuk akal kecuali melalui ritual dan kepercayaan dunia adikodrati (supra-natural). Hal ini berbeda dengan James G Frazer yang menyatakan bahwa magi adalah segala sistem perbuatan dan sikap manusia untuk mencapai suatu maksud dengan menguasai dan menggunakan kekuatan dan hukum-hukum gaib yang ada didalam. Sedangkan agama adalah segala sistem kepercayaan dan sistem perbuatan manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyandarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan Tuhan, Maklhuk halus, Roh-Roh atau Dewa-Dewi yang menguasai alam.
Pendapat ini juga hampir sama dengan R. First yang menyatakan bahwa magi adalah serangkaian perbuatan manusia untuk mengontrol alam semesta, sedangkan agama adalah respon manusia terhadap kebutuhan akan konsepsi yang tersusun mengenai alam semesta dan sebagai mekanisme dalam rangka mengatasi kegagalan yang timbul akibat ketidak mampuan manusia untuk meramalkan dan memahami kejadian alam, atau peristiwa yang tidak diketahui dengan tepat.
Gagasan Molinowski ini juga berbeda dengan Redclife brown. Bila Molinowski berfokus kepada kebutuhan psikologi dan fungsi yang diyakininya harus dipenuhi agar masayarakat berkembang. Maka Redclife fokus kepada kebutuhan sosiologi dan fungsi institusi dalam sistem sosial. Sebagai contoh bila Molinowski berpendapat ritus magi dimaksudkan demi keselamatan masyarakat dalam mencari ikan dilaut namun bagi Redclife ritus magi sebagai fungsi sosial. Ia percaya bahwa masyarakat memiliki definisi apa yang bahaya dan mengancam, dan setiap individu diajarkan definisi-definisi tersebut oleh masyarakat, begitu juga cara menanggulanginya. Maka ritus magi dimaksudkan untuk memelihara kesimbangan masyarakat, jadi fungsi magi bersifat sosial bukan individual.
            Namun demikian Molinowski dan Redclife sendiri sama dengan Emile Durkhiem dalam persoalan fungsi agama dalam masyarakat, yang mana mereka menyebutkan bahwa di dalam agama terdapat nilai-nilai moral atau norma-norma seperti ritus keagamaan dll. yang harus terpenuhi oleh masyarakat agar terjadinya  penyeimbangan (intregasi) di dalam masyarakat.

WILLIAM A. HAVILAND  : manusia dalam mengatasi keterbatasannya, ia berpaling kepada manipulasi kekuatan supranatural. agama bagi haviland dipandang sebagai kepercayaan dan pola perilaku, yang manusia gunakan untuk mengendalikan aspek alam semesta yang tidak dapat dikendalikannya.
Hal ini Haviland sama dengan Anthony F.C Wallace yang menyatakan bahwa agama sebagai seperangkat upacara, yang diberi rasionalisasi mitos, dan yang menggerakkan kekuatan-kekuatan supernatural dengan maksud untuk mencapai atau menghindarkan suatu keadaan pada manusia atau alam. Hal ini berarti bahwa ketika manusia tidak dapat mengatasi masalah serius yang menimbulkan kegelisahan maka manusia berusaha memanipulasikan makhluk dengan kekuatan supernatural.
Dari uraian diatas sebenarnya Haviland secara tidak langsung telah menguraikan bahwa agama sebenarnya secara tidak langsung dapat dikatakan memiliki fungsi dan terbentuk dari menipulasi kekuatan-kekuatan supranatural tersebut. Hal ini juga juga sama yang di kemukakan oleh R. R Marret seorang antropolog inggris dalam bukunya The Threshold Of Religion.  Marret berpendapat bahwa pangkal dari segala kelakuan keagamaan pada manusia ditimbulkan oleh suatu perasaan rendah diri terhadap adanya gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa luar biasa dalam kehidupan manusia. Alam tempat gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa itu berasal (dianggap) memiliki kekuatan yang melebihi kekuatan yang telah dikenal manusia di alam sekelilingnya disebut supernatural.   
Hal ini pun pernah Max Webber sampaikan dalam bukunya The Protestan Ethic And Spirit Of Capitalizm, bahwa sebenarnya terbentuknya segala agama yang ada di dunia ini adalah berawal dari pengendalian kekuatan-kekautan luar biasa yang di manifestasikan dalam ritus-ritus suci oleh suatu kelompok masyarakat yang kemudian terjadi rasionalisasi didalamnya.


KESIMPULAN

Sebenarnya bila dilihat secara seksama dari pendapat ketiga tokoh diatas, maka kita dapat tarik kesimpulan, bahwa pernyataan-pernyataan mengindikasikan kesamaan dalam peran agama dan bagaimana agama itu bekerja dalam kehidupan manusia. Hanya saja mereka berbeda dalam hal aspek-aspek tertentu dari agama yang diperankan dalam hal memanifestasikan agama secara total dalam kehidupan manusia.
Baik Berger, Molinowski dan Haviland sebenarnya berbicara dalam sebuah permasalahan yang sama. Namun berbeda arah dan hasil penelitian dari agama yang mereka sajikan. Namun hal inilah yang memperkaya sebuah keilmuan menjadi lengkap dan tidak monotone. Dan penelitian –penilitian ini sangat penting sebagai sumbangan penelitian tentang keagamaan kedepannya, karena agama adalah sesuatu yang tidak mudah untuk dijelaskan secara ilmiah walaupun agama itu telah menjadi fakta sosial yang tak terbantahkan.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar