Selasa, 22 Februari 2011

filsafat islam

NASHIRUDDIN AL-THUSI
(1201 M / 597 H – 1274 / 672 H)

A.   BIOGRAFI
            Nama lengkapnya adalah Abu  Jafar Muhammad Ibn Muhammaf al Hasan Nasr al-Din al-thusi al-Muhaqiqiy.[1], ia adalah seorang sarjana yang mahir dalam ilmu Matematika,  astronomi, politik, geografi, farmasi, filsafat, mineragoli, teologi dan etika. Nama ayahnya adalah Muhammad Ibnu Hasan, yang mendidik Al-Thusi sejak pendidikan dasar, kemudian Al-Thusi berangkat menuju  Nishapur untuk meneruskan pendidikan ketingkat lanjut.
            Di sana ia belajar matematika kepada Muhammad Hasib, selain itu dia juga belajar fikih, ushul, hikmah dan ilmu kalam kepada Mahdar Fard Al-Din Damad. Kemudian ia pergi Baghdad untuk belajar pengobatan dan filsafat pada Qutb Al-Din dan matematika kepada Kamal Al-Din Ibnu Yunus serta fikih dan ushul pada Salim Ibnu Badran[2].
            Al-Thusi lahir pda tahun 1201 M / 597 H. Dia kemahirannya sangat terkenal, dia dikenal sebagai sosok yang cerdas dan hormati oleh para Khalifah pada masa itu ia mempunyai pengaruh yang sama dengan gubernur dan menteri. Hal inilah yang membuat sejumlah orang memusuhi dan membencinya. Al-Thusi memulai karirnya sebagai ahli astronomi pada Nasir Al-Din Abd Al- Rahim, gubernur dari Benteng gunung Muhammad (618 -652 H / 1221 – 1225 M)  Syekh Agung (Khudawand) ketujuh dari Alamut.
            Namun nasib kurang beruntung bagi Al-Thusi, ketika ia di hentikan oleh atasannya. Sebab ia di fitnah menyurati Wazir Khalifah Abassiah terakhir Al-Mu’thasim Billah. Kemudian ia dipenjara di Alamut.
            Selama hidup di dalam penjara, Al-Thusi mengisi waktunya dengan belajar di dalam ruangan penjara yang kecil Al-Thusi menghasilkan sejumlah karya matematika yang kelak membuat namanya terkenal di dunia ilmu pengetahuan.
            Pada tahun 645 H / 1256 M ketika raja tartar Hulagu Khan, naik tahta dan memerintah di Baghdad ketika itu  Baghdad porak-poranda, banyak warga Baghdad mati dibunuh oleh Hulagu Khan, mereka membangun buku-buku yang ada di perpustakaan, dan menghancurkan karya-karya ilmu muslim, namun setelah penaklukan  yang di lakukan Hulagu Khan , Nashiruddin Al-Thusi mendapat pengampunan dan dibebaskan dari penjara. Raja tartar itu tertarik dengan kepandaiannya al-thusi ia kemudian ia diangkat menjadi dewan konsultan para dokter. Ia juga diberi jabatan sebagai ketua lembaga pewakafan, yang kuasai oleh raja Hulagu Khan[3].
Sebenarnya bukan saja Al–Ghazali saja yang melakukan serangan terhadap filosuf, Farhruddin Ar-Razi, teolog, mufasir Al Quran dan banyak menulis tentang IPA dan matematika yang hidup hampir seabad dengan Al-Ghazali.
            Juga  melakukan hal yang sama, tetapi tidak begitu dikenal, padahal kritik Fakhuruddin Al-Razi tersebut mempunyai akibat lebih lanjut dilihat dari segi tenis filosofis ketimbang serangan Al-Ghazali. Al-Razi berupaya menghancurkan pengaruh fisafat Ibnu Sina buku pedoman dan catatan[4].
Kritik Al-Gazhali dan Fakhrudin Al-Razi tersebut disambut oleh Al-Thusi yang berusaha menegakkan  kembali aliran Ibnu Sina, dengan menulis ulasan atas kitab. Al-Isyarat Wa Al-Tan Bihat, yang di tulis oleh Ibnu Sina. Usaha inilah yang memberikan pengaruh dan bertahan lama ketimbang karya Ibnu Rusyd , dengan Tahafut Al-Tahafut khususnya di belahan timur. Sehingga di timur Al-Thusi dikenal sebagai filosof, sementara di barat sebagai matematik dan astronom dengan karyanya Syaklul Qitha’ yang mana buku ini merupakan karya ilmiah pertama yang memisahkan antara perhitungan segitiga dan ilmu astronomi, sehingga menjadikan keduanya menjadi disiplin ilmu tersendiri.
            Nashiruddin Al-Thusi karena kemahsyurannya memiliki beberapa gelar seperti orang persia menyebutnya Ustad Al-Basyar (guru manusia), Ivanov menjulukinya dengan “kamus hidup”, Bar-Hebraeus menganggapnya sebagai “orang yang berpengetahuan luas di semua cabang filsafat” dan Afnan menyebutnya sebagai “komentator mahir terhadap Ibnu Sina.”


B.    OBSERVATORIUM MARAGHAH

            Terlepas dari kekejaman yang Hulagu Khan lakukan. Ia sangatlah menghormati dan menghargai Al-Thusi sebagai penasehat serta sahabatnya. Hulagu Khan malah membantunya mengumpulkan buku-buku dari negeri-negeri yang ia taklukan kepada Al-Thusi.
            Disinilah keistimewaan dari Nashiruddin Al-Thusi yang dapat membujuk seorang Hulagu Khan untuk mendirikan sebuah Observatorium di Maraghah Azarbaijan[5].
Di Observatorium inilah karya-karya intelektual muslim yang di Baghdad dan negeri-negeri lain yang masih yang masih bisa di selamatkan simpan oleh Al-Thusi sebagai harta warisan yang tak ternilai harganya. Untuk perkembangan keilmuwan Islam Observatorium di dirikan pada tahun 657 H / 13 M, Observatorium ini juga penting dalam 3 hal: yang pertama, ia merupakan Observatorium pertama yang banyak di dukung, sehingga begitu ia membuka pintu bagi komersialis Observatorium di masa mendatang. Kedua, sebagai mana Ibnu Tufail (meninggal tahun 581 H/1185 M) yang membuat pemerintahan Khalifah Abd Al Mu’min menjadi galaksi intelektual cemerlang yang mendorong perkembangan pengetahuan dan kebijaksanaan di barat, al-thusi membuat observatorium Maraghah menjadi suatu “majelis yang hebat” yang terdiri atas oramg-orang pandai dan terpelajar dengan membuat rencana khususnya untuk pengajaran ilmu-ilmu filsafat, disamping matematika dan astronomi dan juga dengan jalan menyisihkan uang sokongan untuk beasiswa murid-muridnya yang pandai.
            Ketiga, Observatorium itu di hubungkan dengan sebuah perpustakaan besar tempat tersimpannya khasanah pengetahuan yang tak terusakan, yang dirampas oleh bangsa Mongol dan Tartar ketika mereka menaklukan Irak, Baghdad, Syira dan daerah daerah lain. Menurut Ibnu Syakir perpustakaan itu berisi lebih dari 400.000 judul buku[6]. Di samping itu di dukung oleh staf. Yang terdiri astronom terkemuka pada abad itu, seperti Mohi Al-Dinal Maghribi dan Abu Faraj[7]. Sehingga memudahkan melakukan penelitian-penelitian yang sangat penting di bawah pimpinan Al-Thusi.
            Ia juga mempertahankan pengaruhnya di istana hingga Hulagu Khan wafat dan digantikan Abaka, sampai ia wafat pada tanggal 26 juni 672 H / 1274 M di Baghdad[8].


  1. KARYA-KARYA NASHIRUDDIN AL –THUSI

Karl Brockelmann mengumpulkan tidak kurang dari 56 judul karya Al-Thusi, sementara Ivanov mengatakan bahwa karya Al-Thusi ada 150 judul, sedangkan Mudarris Ridwi menyebutkan ada 130 judul, diantara karya Al Thusi[9] adalah:
  1. Tentang Logika
a.      Asas al-iqtibas
b.      Al-tajrid fi’ilm al-manthiq
c.       Ta’dil al-mi’yar
  1. Tentang Metafisika
a.      Risaleh dar ithbat- i wajib
b.      Itsbat- i jauhar al-mufariq
c.       Risaleh dar wujud- i jauhar-i mujarrad
d.      Risaleh dar istbat’i aql-i fa’al
e.       Risaleh darurat-i marg
f.        Risaleh sudur karthrat az-wahdat
g.      Risaleh ‘illal wa ma’lulat
h.      Fushul
i.        Tashawwurat
j.        Talkhis al-muhassal, di persembahkan untuk Alauddin
k.      Hall- i musykilat al-isyarat.
  1. Tentang etika
a.       Akhlaq-i nasiri
b.      Ausaf al-asyraf
  1. Tentang teologi / dogma
a.       al-‘ aqa’id
b.      Tajrid Qawa’id al-aqa’id
c.       Risaleh-i i’ tiqadat
  1. Tentang astronomi
a.       Kitab al-mutawasitat bai al- handasa wal hai’a, (buku suntingan dari sejumlah karya yunani)
b.      Ailkhanian tables (penyempurnaan planetary tables)
c.       Kitab al- tazkira fi al-ilm al-hai’a
d.      Zubdat al-hai’a (yang terbaik dari astronomi)
e.       Kitab al-tahsil fi al-nujum
f.        Tahzir al-majisti
g.       Amukhtasar fi al-ilm al- tanjim wa ma’rifat al-taqwin( ringkasan astrologi dan penanggalan)
h.       Kitab Al-Barifi Ulum Al-Taqim Wa Harakat Al-Aflak Wa Ahkam Al-Nujum (buku unggul tentang al-manak, gerak bintang-bintang dan astrologi kehakiman)
  1. Tentang aritmatika, geometri dan trigonometri
a.       Al-mukhtasar bi jami al-hisab bi al takht wa al-turab. (ikhtisar dari seluruh perhitungan dengan rabel dan bumi)
b.      Kitab al-jabr wa al-muqabala (risalah tentang aljabar)
c.       Al-usul al-maudua (risalah mengenai euclids postulate)
d.      Aqawaid al-handasa (kaidah-kaidah geometri)
e.       Tahris al-ushul
f.        Kitab shakl al-qatta(risalah tntang kuadrilateral)
  1. Tentang optik
a.       Tahrir kitab al-manazir
b.      Mabahis finikas al- shu’ar wa in itafiha (penelitian tentang refleksi dan defleksi sinar-sinar).
  1. Tentang musik
a.       Kitab fi ilm al - mausiqi
b.      Kanz al-tuhaf
  1. Tentang medikal
Kitab Al-Bab Bahiya Fi Al-Tarakib Al-Sultaniya, buku tentang cara hidup yang dibagi kedalam 3 bagian , menguraikan diet, peraturan-peraturan kesehatan dan hubungan seksual.


  1. FILSAFAT NASHIRUDDIN AL-THUSI

  1. Logika
 Mengenai logika, karya-karyanya meliputi Asas Al-Iqtbas, Sayrh-I Manthiq Al-Isyarat, Ta’dil Al-Mi’yar dan Tajrid Al-Manthiq. Disebut pertama memberikan penjelasan yang gamblang mengenai masalah itu dalam bahasa parsi atas dasar logika Ibnu Sina dalam Asy-Syifa[10].
Namun sebelum kita membahas logika Al-Thusi lebih baik kita membahas logika Aristoteles sebagai guru pertama dalam ilmu ini ,karena kita akan dapat membedakan logika Aristoteles dengan logika Al-Thusi yang cenderung kepada logika Ibnu Sina dan Al-Farabi sebagai guru yang kedua.
Karya terpenting Aristoteles dalam bidang logika adalah ajarannya tentang Silogisme. Silogisme adalah sebuah argumen yang terdiri dari tiga bagian, yakni premis mayor, premis minor dan kesimpulan. Terdapat sejumlah bentuk Silogisme yang berbeda-beda yang masing-masing memilki nama, yang diberikan oleh kaum Skolastik[11]. Bentuk yang paling terkenal adalah “Barbara” contohnya:
“semua manusia fana” (premis mayor)
“sokrates adalah seorang manusia” (premis minor)
“dengan demikian : sokrates fana” (kesimpulan).
Bentuk lainnya : “ tak ada ikan yang rasional”, “ semua hiu adalah ikan”. Dengan demikian “ tak ada hiu yang rasional” (bentuk ini dinamakan “Celarent”).
“ semua manusia rasional”,”sebagian binatang adalah manusia”, dengan demikian sebagian binatang adalah rasional. (di sebut “Darii”).
“ tak ada orang Yunani berkulit hitam”, “ sebagian manusia adalah orang Yunani” dengan demikian sebagian manusia tak berkulit hitam.(di sebut “Ferio”).
Keempat jenis diatas merupakan bentuk pertama, Aristoteles menambahkan bentuk kedua dan ketiga, kaum Skolastik menambahkan bentuk keempat. Dikatakan bahwa bentuk kedua, ketiga dan keempat yang belakangan bisa di kembalikan ke bentuk yang pertama.[12]
Sedangkan Al-Thusi menganggap logika sebagai suatu ilmu dan suatu alat ilmu. Sebagai ilmu, ia bertujuan memahami makna-makna dan sifat dari makna-makna yang dipahami itu. Adapun sebagai alat, ia menjadi kunci untuk memahami berbagai ilmu. Kalau pengetahuan tentang makna dan sifat dari makna-makna itu menjadi sedemikian berurat akar di dalam pikiran sehingga tidak di perlukan lagi pemikiran dan refleksi, ilmu logika menjadi seni yang bermanfaat (san’at), yang membebaskan pikiran dan kesalah pengertian di satu pihak, dan kekacauan di pihak lain.[13]
Setelah mendefinisikan logika, Al-Thusi sebagaimana Ibnu Sina, memulai dengan pembahasan pendek mengenai teori pengetahuan. Semua pengetahuan adalah konsep (tasawur) atau penilaian (tasdiq), yang pertama bisa di dapat lewat definisi dan yang kedua lewat Silogisme. Dengan begitu, definisi dan Silogsme merupakan dua alat untuk mencapai pengetahuan.
Tidak seperti Aristoteles, Ibnu Sina  membagi semua Silogisme menjadi Silogisme Kopulatif (Iqtirani) Dan Silogisme Ekseptif (Istitsana’i). Al-Thusi mengikuti pembagian ini dan menggabungkannya dengan caranya sendiri. Karya-karyanya dalam bidang logika scara garis besar bercorak logika Aristoteles, tetapi dia tidak menyebutkan tiga bentuk Silogisme, melainkan empat sumber[14], dan sumber dari bentuk keempat ini terdapat pada karya-karya logikanya Ibnu Sina[15].
Dalam Ihsa Al-Ulum, Al-Farabi mengatakan logika memberikan kaidah-kaidah yang dapat meluruskan akal dan membimbing manusia kejalan kebenaran, sedangkan Ibnu Sina dalam isyaratnya mengatakan tujuan logika akan memeliharanya dari kesalahan dalam berpikir.[16]
 tetapi menurut pandangan Ibnu Sina, Silogisme yang memberikan pada kepastian adalah argumentasi dan ia harus memenuhi dua syarat yaitu bersifat universal dan keharusan. Dari sini nampaklah bahwa Al-Thusi mengikuti Ibnu Sina dalam pengkajian lapangan logika meski mempunyai cara yang berbeda.[17] 

  1.  Metafisika
Menurut Al-Thusi, metafisika terdiri atas dua bagian yaitu:
  1. Ilmu Ketuhanan (Ilm-Ilahi), mencakup persoalan ketuhanan , akal, jiwa dan hal-hal yang berkaitan dengan hal tersebut, seperti kenabian (nubuwat), kepemimpinan spiritual (imamat), dan hari pengadilan (qiyamat). Jelajah subjek itu menunjukan bahwa metafisika merupakan esensi filsafat islam dan lingkup sumbangan utamanya bagi sejarah gagasan[18].
  2. Filsafat pertama (Falsafah-‘Ula), meliputi alam semesta dan hal-hal yang berhubungan dengan alam semesta. Termasuk dalam hal ini pengetahuan tentang ketunggalan dan kemajemukan, kepastian atau kemungkinan , sensi dan eksistensi, kekekalan dan ketidak kekalan[19].
Bagi Al-Thusi, Tuhan tidak perlu di buktikan secara logis. Eksistensi Tuhan harus diterima dan dianggap sebagai postulat, bukannya di buktikan. musfahif bagi manusia yang terbatas untuk memahami Tuhan didalam keseluruhan-Nya, termasuk membuktikan eksistensinya. Jadi meskipun Al-Thusi membagi metafisika atas ilmu ketuhanan dan filsafat pertama, tapi di dalamnya tidak mencakup kajian pembuktian eksistensi Tuhan, karena ini di luar kemampuan pembuktian manusia.
            Hampir semua Filosuf Islam mengulas teori creatio ex nihilo yaitu teori yang menyatakan adanya penciptaan sesuatu dari tdak ada. Ajaran Islam yang memisahkan antara Allah dan alam yang pada dasarnya juga berstatus pada teori creatio ex nihilo yakni bahwa alam pada mulanya tidak ada, kemudian ada dengan perintah Allah. (Qs. Yasiin:82)[20].
Menurut Aristoteles bahwa alam ini Qadim, sehingga akibatnya penciptaan dari tidak ada itu di nafikan, Tuhan hanya menggerakan alam sebagai penggerak pertama saja. Karena ia adalah penggerak yang tidak bergerak. Ibnu Miskawih dalam hal ini setuju dengan pendapat Aristoteles yang menganggap Tuhan sebagai penyebab adanya gerakan, tapi disisi lain berbeda, karena Ibnu Miskawih berpendapat bahwa alam ini, baik dalam bentuk maupun materinya , diciptakan Tuhan dari ketiadaan. Kemudian Al-Thusi dalam tasawuratnya mengemukakan bahwa pandangan yang menyatakan adanya waktu ketika di dunia ini belum maujud dan kemudian Tuhan menciptakannya dari ketiadaan, secara jelas ia mengisyaratkan bahwa Tuhan bukanlah pencipta sebelum adanya penciptaan dunia ini atau kekuatan penciptan-Nya masih bersifat potensial yang kemudian hari baru di wujudkan dan ini merupakan sangkalan atas daya ciptaan-Nya yang kekal. Oleh sebab itu Tuhan selamanya merupakan pencipta yang menghubungkan eksistensi penciptaan kepada diri-Nya.
Dalam karyanya yang belakangan, Fushul ( risalahnya yang terkenal dan paling banyak diulas), Al-Thusi meninggalkan sikapnya tersebut diatas itu sekaligus seraya mendukung sepenuhnya doktrin ortodoks mengenai creatio Ex nihilo. Dengan menggolongkan zat menjadi pasti  dan yang mungkin, dia mengemukakan bahwa eksistensi yang mungkin itu bergantung kepada yang pasti dan karena ia maujud akibat sesuatu yang lain dari dirinya , maka tidak dapat dikatakan bahwa ia dalam keadaan maujud, sebab penciptaan yang maujud itu mustahil. Dan karena sesuatu yang tidak maujud itu tidak ada, maka begitu juga kemaujudan yang pasti itu menciptakan yang mustahil itu dari ketiadaan. Proses semacam itu di sebut penciptaan dan hal-hal yang ada disebut yang tercipta (muhdats).[21] 

3.    Jiwa
Menurut Plato jiwa dibagi  menjadi dua yaitu rasional dan irrasioonal. Sedangkan jiwa irrasional dibagi menjadi dua lagi yaitu vegetatif (tumbuh-tumbuhan) dan apetatif (binatang).[22]
Menurut Al-Thusi, jiwa merupakan subtansi  sederhana dan immaterial yang dapat merasa sendiri. Keberadaan jiwa tidak memerlukan pembuktian. Jiwa mengontrol tubuh melalui otot-otot dan alat-alat perasa, tetapi ia sendiri tidak dapat dirasa lewat alat-alat tubuh. Berbagai ragam yang diterima oleh jiwa, seperti persoalan logika, fisika, matematika dan lain-lain tidak terjadi campur baur dan dapat di ingat dengan jelas. Tentu hal ini tidak mungkin terdapat pada suatu subtansi material yang kapasitasnya terbatas. Karena itu, jiwa adalah subtansi immaterial. kalaupun jiwa memerlukan tubuh sebagai alat penyempurnaan dirinya, tetapi ia tidak begitu dikarenakan pemilikannya akan tubuh[23].
Pembagian jiwa sebagaimana dipahami para filosuf sebelumnya kepada para jiwa vegetatif, hewani, dan manusia, oleh Al-Thusi ditambahkan jiwa imajinatif yang menempati posisi tengah diantara jiwa hewani dan manusiawi[24]. Jiwa imajinatif ini berkaitan dengan persepsi-persepsi rasa di satu pihak, dan dengan abstraksi-abstraksi rasional di pihak lain, sehingga jika ia di satukan dengan jiwa hewani maka ia akan menjadi bergantung kepadanya dan hancur bersamanya, tetapi jikalau ia dihubungkan dengan jiwa setengah manusia, ia menjadi terlepas dari anggota-anggota tubuh dan ikut bergembira atau bersedih bersama jiwa itu dengan kekekalannya. Setelah keterpisahan jiwa dari tubuh, suatu jejak imajinasi tetapi berada dalam bentuknya, dan hukuman dan penghargaan jiwa manusiawi menjadi bergantung kepada jejak ini, yang dikenal atau dilakukan oleh jiwa imajinatif di dunia ini.
Jiwa manusiawi ditandai dengan adanya akal, yang menerima pengetahuan dari akal pertama. Akal itu ada dua macam : akal teoritis dan akal praktis. Akal teoritis merupakan suatu potensialitas yang perwujudannya mencangkup empat tingkatan, yakni akal material (‘aql hayulani), akal malaikat (‘aql malaki), dan akal aktif (aql bi al-fi’l), dan akal yang diperoleh (‘aqlmustafad). Pada tingkatan ‘aql mustafad setiap bentuk konseptual yang terdapat didalam jiwa menjadi nyata terlihat, seperti dalam cermin. Adapun akal praktis, menyangkut dengan perbuatan-perbuatan sengaja dan tidak sengaja. Karena itu potensialitasnya diwujudkan dalam tindakan moral, kerumah tanggaan dan politis[25].            
                                                                                                                                                
  1. Ilmu Rumah Tangga
Al-Thusi mendefinisikan rumah (manzil) sebagai hubungan yang istimewa antara suami dan istri , orang tua dan anak, tuan dan hamba serta  kekayaan pemiliknya. Tujuan ilmu rumah tangga (tadbir- i manzil) adalah mengembangkan sistem disiplin yang mendorong terciptanya kesejahteraan fisik, sosial dan mental kelompok utama ini, dengan ayah sebagai pemegang kendalinya. Fungsi ayah adalah menjaga dan memperbaiki keseimbangan dalam keluarga.[26]
Kekayaan diperlukan guna mencapai tujuan-tujuan pokok pemeliharaan keturunan. Untuk memperolehnya, Al-Thusi menyarankan agar manusia bekerja secara terhormat dan mencapai kesempurnaan dalam pekerjaan tersebut, tanpa melaksanakan ketidakadilan, kekejian atau kekejaman. Penataan rambut dan pembersihan sampah, tak diragukan lagi, merupakan pekerjaan yang menjijikan tapi diperlukan demi kelayakan sosial.
            Al-Tusi menganggap menabung harta sebagai tindakan yang bijaksana, asalkan hal itu tidak didorong oleh sifat tamak dan kikir, dan tidak mendatangkan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga atau mengandung resiko bagi kebutuhan dan harta diri seseorang di dalam masyarakat. Mengenai kelayakan, serta umum membela sikap menengah. Orang tak perlu mengeluarkan harta kalau hal itu menimbulkan keberlebihan, keberpameran, kesalah hitungan dan kepelitan.
            Bukan kepuasan syahwat, tapi tapi keayahan dan perlindungan atas kemilikanlah yang menjadi tujuan pokok perkawinan. Intelegensi, integritas, kemurnian, kesederhanaan, kecerdasan dan kerendahan hati, dan terlebih kepatuhan terhadap suami merupakan sifat-sifat yang harus ada pada diri seorang istri.[27] Poligami tidak di kehendaki sebab hal itu dapat mendatangkan kekacauan dalam rumah tangga. wanita pada dasarnya lemah pikiran dan secara psikologis cemburu terhadap pasangan lain suaminya dalam merebut cinta dan kekayaannya. Laki-laki bagi keluarga sama dengan jantung bagi tubuh, dan karena satu hati tidak dapat menghidupi dua tubuh , maka begitu juga seorang laki-laki tidak dapat mengurus dua keluarga. sedemikian suci kehidupan rumah tangga di mata Al-Tusi sampai-sampai dia menyarankan jangan kawin kalau tidak dapat menjaga keseimbangan keluarga.[28]
            Mengenai disiplin anak-anak, Al-Tusi yang mengikuti pendapat Ibnu Miskawih , memulai dengan penanaman moral yang baik lewat pujian , hadiah dan celaan yang halus. Dia tidak suka dengan celaan yang sering diucapkan serta teguran terbuka  celaan yang sering diucapkan akan meningkatkan godaan, sedang teguran terbuka akan mengundang keberanian.[29]
Dari sini Al-Tusi berkesimpulan bahwa hak-hak ayah terutama bersifat mental, sedangkan hak-hak ibu bersifat fisik. Jadi ayahnya seseorang merasa beruntung karena pengabdian tanpa pamrih sang ayah, dan dari ibunya karena disediakannya makanan, pakaian dan kenyamanan-kenyamanan fisik lainnya.
Apabila dalam rumah tangga terdapat pelayan, maka ia harus diperlakukan dengan baik, sehingga ia merasa tergugah untuk menyamakan perangainya dengan majikannya.
Ringkasannya, bagi Al-Tusi, rumah adalah pusat kehidupan keluarga. Pemasukan, tabungan, pengeluaran dan disiplin istri, anak serta pelayan, semuanya merupakan pencipta kesejahteraan keluarga.[30]

  1. Politik
Menurut Aristoteles negara tersusun dari pelbagai rumah tangga, setiap rumah tangga terdiri dari satu keluarga dan telaah tentang politik sudah semestinya berawal dari pembahasan tentang keluarga.[31]
Suatu pemerintahan dianggap baik jika ia bertujuan mencapai kebaikan bagi seluruh masyarakat dan dianggap buruk jika hanya mementingkan dirinya sendiri. Ada tiga macam pemerintahan yang baik yaitu monarki, aristokrasi dan konstitusional (polity). Dan pemerintahan yang buruk juga ada tiga macam yaitu tirani, oligarki dan demokrasi.[32]
Al-Thusi menggunakan istilah siyasat-i mudum untuk ilmu kemasyarakatan dan ilmu pemerintahan. menurut Al-Thusi, pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, hal itu sesuai dengan istilah insan yang secara harfiah berarti orang yang suka berkumpul dan berhubungan.[33]
Kata tamaddun berasal dari kata madinah (kota) yang berarti kehidupan bersama manusia yang memiliki pekerjaan yang berbeda-beda dengan tujuan saling membantu dalam memenuhi kebutuhan mereka., karena tidak satu manusia pun bisa mencukupi dirinya sendiri, maka setiap orang membutuhkan bantuan dan kerjasama orang lain.
Menurut Al-Thusi, suatu negara  di dukung oleh empat kelompok yaitu ilmuan, prajurit, petani dan pedagang. Tugas seorang raja yang utama adalah mengukuhkan negara dengan meningkatkan persatuan antara keempat kelompok tersebut. Untuk itu, seorang raja harus memiliki latar belakang (1) keluarga terhormat, (2) bercita-cita tinggi, (3) adil dalam menilai, (4) teguh pendirian, (5) kukuh dalam menghadapi kesulitan, (6) lapang dada dan (7) memiliki sahabat-sahabat yang berbudi baik.[34]

  1. Etika
Mengikuti pendapat Ibnu Miskawih, Al-Thusi menganggap bahwa kebahagiaan utama (sa’adat-i quswa) adalah tujuan moral utama, yang ditentukan oleh tempat dan kedudukan manusia di dalam evolusi kosmik dan di wujudkan lewat kesediaannya untuk disiplin dan patuh[35]. Tidak seperti Aristoteles tapi  seperti Ibnu Miskawih, dia menempatkan kebajikan (tafadhul) di atas keadilan dan cinta (mahabah) sebagai sumber alami kesatuan, di atas kebajikan.[36]
Aristoteles memandang kejahatan sebagai suatu kebaikan yang berlebihan, baik eksesnya maupun kerusakannya. Bagi Galen, kejahatan dalah suatu penyakit jiwa. Dan Al-Quran setelah mengungkapkan prinsip-prinsip etik umum dari sikap yang tak berlebihan, menyatakan bahwa kejahatan merupakan penyakit hati.
Penyakit merupakan penyimpangan jiwa dari keseimbangan (i’tidal). Aristoteles dan juga Ibnu Miskawih, memandang penyimpangan ini dari segi jumlah (kammiyat) dan karena itu keberlebihan (ifrat) dan keberkurangan (tafrit) suatu keadaan, yang bagi mereka hanyalah dua sebab penyakit moral. Al-Thusi untuk pertama kalinya berpendapat bahwa peyimpangan bukan hanya dari segi jumlah tapi juga dari segi mutu, dan untuk penyimpangan jenis baru ini dia menamakannya perbuatan yang tak wajar (rada,at). Dengan begitu penyakit moral itu bisa di sebabkan oleh tiga sebab, yaitu keberlebihan, keberkurangan dan ketakwajaran akal, kemarahan serta hasrat.
Al-Thusi menggolong-golongkan penyakit-penyakit fatal akal teoritis menjadi kebingungan (Hairat), kebodohan sederhana (jahl-i basit) dan kebodohan fatal (jahl-i murakkab), yang membentuk keberlebihan, keberkurangan dan ketakwajaran. [37]
Kebingungan disebabkan oleh ketidakmampuan jiwa untuk membedakan antara kebenaran dan kesalahan dikarenakan oleh adanya bukti yang saling bertentangan dan argumentasi yang kacau untuk dan terhadap suatu masalah yang kontroversial.[38] Kebodohan sederhana terdapat pada kekurangtahuan manusia akan sesuatu hal tanpa mengira bahwa dia mengetahuinya. Kebodohan semacam itu merupakan suatu keadaan yang bisa dijadikan titik tolak untuk mencari pengetahuan, tapi sangatlah fatal kalau merasa puas dengan keadaan begitu.[39] Sedangkan kebodohan fatal adalah kekurangtahuan manusia akan sesuatu hal dan dia merasa mengetahui hal itu. Walau dia bodoh, dia tidak tahu bahwa dia memang bodoh. Menurut Al-Thusi penyakit ini adalah penyakit yang hampir tidak dapat disembuhkan.[40]
Al Thusi menganggap kemarahan (ghadhab), kepengecutan (jubun) dan ketakutan (khauf) sebagai tiga penyakit kemarahan yang menonjol (quwat-i difa’) dari segi keberlebihan, keberkurangan dan ketakwajaran. Begitu pula keberlebihan nafsu (ifrat-i syahwat) disebabkan oleh keberlebihan hasrat, sedangkan sikap sembrono (batalat) merupakan akibat dari kekurangan, dan kesedihan (huzan) serta cemburu (hasad) merupakan ketakwajaran kekuatan ini. [41]

7.        Kenabian
Setelah menetapkan kebebasan berkehendak dan kebangkitan kembali tubuh, Al-Thusi lalu menetapkan perlunya kenabian dan kepemimpinan spiritual. Pertentangan minat serta kebebasan individu mengakibatkan tercerai-berainya kehidupan sosial dan ini memerlukan aturan suci dari dari Tuhan untuk mengatur urusan-urusan manusia. Tapi Tuhan sendiri berada di luar jangkauan indera, oleh karena itu dia mengutus para nabi untuk menuntun orang-orang ini, pada gilirannya, memerlukan pranata kepemimpinan spiritual setelah para nabi itu menerapkan aturan suci tersebut. [42]





BAB III
PENUTUP

            Dari uraian di atas maka dapatlah kita ketahui bahwa seorang Nashiruddin At-Thusi merupakan seorang tokoh yang menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan pada masa-masa kehancuran kekhalifahan Abbasiah. Kecerdasan dan rasa cintanya kepada ilmulah yang membuatnya menjadi seorang tokoh yang disegani dan dihormati oleh para kholifah pada masa itu. Bahkan dia menjadi orang yang disegani oleh Huluga Khan, seorang raja Tartar yang pada saat itu telah menguasai Baghdad. Tidak hanya itu, Nashirudinpun mampu membujuk raja Huluga untuk membuatkannya observatorium.
            Dalam perjalanan hidupnya, Nashirudin al-Thusi telah menghasilkan banyak karya di berbagai bidang. Sedangkan dalam pemikiran-pemikirannya tidaklah jauh berbeda dengan para filosuf-filosuf islam yang lain baik dari bidang logika, 8metafisika, jiwa, ilmu rumah tangga, politik, dan seterusnya. Nashirudin lebih banyak mencoba untuk menganalisa dan menyempurnakan dari pemikiran-pemikiran dari tokoh-tokoh terdahulu.
            Peran Nashirudin Al-Thusi dalam dunia filsafat islam memberikan sumbangan yang berarti. Pikiran-pikirannya dan karya-karyanya dapat menjadi acuan dalam berkembangnya ilmu pengetahuan sampai saat ini. Sehingga namanya terdaftar sebagai salah satu tokoh yang berperan dalam berkembangnya                  keilmuanislam.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA


·        Murtiningsih,Wahyu. 2008. Biografi Para Ilmuwan Muslim. Yogyakarta: PT.Pustaka Insan Madani
·        Mustofa, H. A. 2009. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia
·        Nasution, Hasyimsyah. 2001. Filsafat Islam. Jakarta: Gramedia Pratama
·        Russell, Betrand. 2004. Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
·        Supriyadi, Dedi. 2009. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia
·        Syarif, M.M. 1991. Para Filosuf Muslim. Bandung: Mizan




[1] Wahyu Murtiningsih,.”Biografi Para Ilmuwan Muslim”. PT. Pustaka Insan Madani. 2008 . Yogyakarta.   26
[2] Dr. Hasyimsyah Nasution, “ Filsafat Islam”. Gramedia Pratama. 2001. Jakarta . 129
[3] Wahyu Mutiningsih...
[4] Dr. Hasyimsyah Nasution.. 131
[5] M.M. Syarif, M.A. “Para Filosuf Muslim”. Mizan. 1991. Bandung   236
[6] Ibid.. 236
[7] Dr. Hasyimsyah Nasution.. 130
[8] M.M. Syarif..237
[9] Dr. Hasyimsyah Nasution.. 131-133

[10] Dedi Supriyadi, M. Ag. “ Pengantar Filsafat Islam”. Pustaka Setia. 2009 Bandung.  256
[11] Betrand Russell, “Sejarah Filsafat Barat”. Pustaka Pelajar. 2004. Yogyakarta. 266
[12] Ibid..
[13] Dedi Supriyadi..  257
[14] Ibid..
[15] M.M.Syarif..  256
[16] H. A. Mustofa.” Filsafat Islam “. Pustaka Setia.2009.  Bandung  314
[17] ibid... 314
[18] Dedi Supriyadi.. 256
[19] Dr. Hasyimsyah Nasution.. 133
[20] H. A. Mustofa.. 320
[21] M. M. Syarif.. 253
[22] Betrand Russell.. 222
[23] Dr. Hasyimsyah.. 139
[24] M.M. Syarif.. 250
[25] H. A. Mustofa.. 323
[26] Dr. Hasyimsyah.. 244
[27] H. A. Mustofa .. 327
[28] ibid...
[29] ibid... 328
[30] M.M. Syarif... 246
[31] Betrand Russell... 252
[32] ibid... 257
[33] Dr. Hasyimsyah Nasution... 142
[34] ibid... 143
[35] M.M Syarif ... 239
[36] ibid... 240
[37] ibid... 241
[38] H. A. Mustofa... 315
[39] ibid... 316
[40] ibid....
[41] M.M. Syarif... 242
[42] Ibid..... 254

Tidak ada komentar:

Posting Komentar